What Happened After

Umumnya ibu-ibu hamil tidak sabar ingin segera bertemu dan memeluk anaknya, si makhluk yang berbulan-bulan menetap di dalam rahim. Saya pun tak luput dari perasaan tersebut. Berkali-kali saya bilang ke suami, ibu, dll kalau saya sudah “GAK SABAAAAR MAU CEPAT-CEPAT MELAHIRKAN DAN LIAT KAYAK GIMANA ANAK INII!”.

Waktu itu ibu saya bilang, tidak usah buru-buru justru kamu nikmati saja saat-saat sebelum mengurus anak. Nanti kalau anaknya sudah lahir, repot lho. Nasihat yang saya anggap angin lalu. Dasar anak durhaka! Wkwkwk.

Lalu lahirlah Mikail 5 hari lebih cepat daripada perkiraan. Wah, ketemu juga akhirnya!!

Perasaan saya? Senang, terharu, menjadi satu. Ada satu makhluk yang dititipkan Tuhan kepada saya dan suami untuk disayangi dan dididik… Dan boleh dibawa pulang!! Kalau dulu kan gemes-gemes sama keponakan, gak boleh dibawa pulang. Hehe.

Yang di atas itu memang sudah saya perkirakan sebelumnya. Memang sih pada kenyataannya intensitas emosinya jauh lebih hebat daripada bayangan saya sebelumnya, tapi saya tidak terlalu kaget lagi.

Lalu apa yang membuat kaget?
Bous, apparently taking care of a baby really taking up all of your time. All. Of. Your. Time.

Mau tidur susah. Mau makan susah. Mau mandi susah. Mau buang air susah.

Mungkin beda bayi beda cerita sih. Ada juga bayi yang anteng dan tidur terus. Tapi kalau Mikail dulu sih, maunya digendong-gendong dan menyusu terus. Untungnya 5 minggu pertama saya camping di rumah orang tua, jadi ada Mbak yang cuciin baju, masak, dan bersih-bersih. Meskipun saya berusaha sebisanya mengerjakan sendiri supaya ketika pindah ke apartemen sendiri sudah terbiasa. Juga ada ibu dan adik yang sesekali gantian pegang Mikail, biarpun itu juga sesekali ya secara mereka pun sibuk (FYI, ibu saya dokter dan adik saya mahasiswa kedokteran). Sementara suami cuma dapat cuti 1 minggu dari kantor.

Kalau lihat iklan-iklan produk bayi di TV, wah si Ibu kelihatannya cantik dan rapi memandangi anaknya dengan penuh cinta sementara si anak senyum-senyum tersipu. Scene seperti ini terjadi juga kok di dunia nyata. Kadang-kadang. Banget. Seringnya si ibu pakai daster beraut muka berantakan disertai lingkaran hitam di bawah mata akibat kurang tidur sementara anaknya meraung-raung. Does the mother smile, though? Well, I can’t say for other people, but I did smile although I’m sure that I was nowhere near look as pretty and fresh and smell (I assume) as good as the models in the TV commercials. πŸ˜‰

The point is, taking care of a baby is often not a “pretty” sight. It’s messy, chaotic and sometimes awkward. Saya mulai memahami ini di minggu pertama setelah pulang dari rumah sakit.

image

Di minggu kedua atau ketiga, saya sempat bertanya ke beberapa teman yang sudah punya anak: gimana caranya kalian punya waktu untuk diri sendiri?

Setelah terkekeh-kekeh mendengar curhatan saya (ini bayangan doang sih, soalnya saya nanyanya via WhatsApp), mereka bilang, newborn memang biasanya demanding sekali dan jadwalnya cenderungΒ  berantakan tapi lama-kelamaan (which at that time seemed like forever) akan membaik, things will get better.

Lalu salah seorang teman saya bercerita bahwa ia juga mengalami kestresan yang sama, bahkan lebih, saat bayinya baru lahir dulu (anaknya 3 bulan lebih tua dari Mikail) hingga di titik di mana pikiran untuk membekap anaknya (yang tak henti menangis) sempat terlintas di kepalanya. Wow, saya pikir, ternyata gue masih mending ya. Saya memang kadang kesal, kadang teriak, menangis sambil menelepon suami pun pernah, tapi kalau sampai berpikir melakukan tindakan sih belum pernah. In a way, I felt relieved after hearing my friend’s confession, karena menurut saya teman ini adalah ibu yang baik dan sangat sangat sayang pada anaknya. Artinya, kalau dia saja pernah merasa demikian dan pada akhirnya semuanya baik-baik saja, maka apa yang saya alami dan rasakan ini masih normal dan saya belum gila.

Selain curhat ke teman-teman sesama ibu, saya juga suka memantau forum ibu-ibu January 2014 Birth Club di babycenter.com dan ternyata banyak juga lho yang cerita mengenai hal yang sama, tentang bagaimana mereka overwhelmed oleh tanggung jawab baru mereka. Makin legalah saya. Horeeeeee gue gak sendiriaaaan!
*ternyata nyari temen

Tujuan saya menulis ini adalah untuk membantu meyakinkan ibu-ibu baru bahwa merasa agak depresi karena overwhelmed oleh tanggung jawab baru merawat anak tidak menjadikan mereka ibu yang tidak baik. It’s normal, it doesn’t mean that you don’t want your baby, and it doesn’t make you a terrible mother.

image
Beberapa minggu setelah melahirkan. Saya masih chubby tapi tampak lelah dilengkapi bergo dan daster seadanya. Wkwkwk.

Menurut pengalaman saya, bercerita atau bergabung (meskipun hanya sebagai silent reader) di kelompok atau forum ibu-ibu baru sangat membantu. Lalu, tak ada salahnya juga meminta bantuan orang sekitar untuk membantu menjaga bayi sembari kita istirahat sejenak. Para ibu biasanya paham kok bahwa ibu-ibu baru umumnya kelelahan dan kurang tidur, jadi bila ada orang yang kita percaya menawarkan untuk menjagai bayi kita agar kita bisa, grab the chance in a millisecond!

Terakhir, saya pernah baca bahwa ibu baru kadang merasa hidupnya “dirampas” oleh bayinya karena waktunya tersita untuk si buah hati. Tips yang saya baca (dan saya jalani) adalah tetapkan setidaknya satu hal yang akan tetap kamu lakukan untuk dirimu sendiri, no matter what. Kalau saya menetapkan bahwa saya akan tetap mandi 2 kali sehari. Sesingkat dan sebasa-basi apapun mandi itu, pokoknya pagi dan sore saya harus mandi, you’d be surprised how difficult to keep that pact apalagi kalau mengasuh anak sendiri tanpa pembantu atau baby sitter. Buat saya mandi itu benar-benar ampuh untuk recharge energi (tidur juga iya sih, tapi kan gak mungkin juga tidur cuma 5 menit) dan membuat saya tetap merasa ‘manusiawi’. Lagipula kan kasian Mikail kalau ibunya bau kecut. Wkwkwk.

Sebagai penutup, berdasarkan apa yang saya lewati, menjadi ibu itu tidak mudah dan normal saja kalau merasa kebingungan, kewalahan, atau bahkan sedikit gila. But give it a little time and before you know it you’re going to do things that you never imagine you could do before. Hang tight, mothers! πŸ™‚

What Happened After

Baby On the Go

Keputusan untuk mengasuh anak sendiri sudah saya dan suami ambil sejak Mikail masih di kandungan. Pertama, karena kami ingin. Kedua, apartemen mini kami tidak akan nyaman kalau ditambah penghuninya.

Maka sejak masa kehamilan, saya sudah berusaha menyiapkan apa saja yang saya butuhkan agar saya dapat tetap hands on sekaligus bisa menjalani aktivitas. Salah satu prioritas utama yang saya ingin siapkan adalah car seat. Bila ada yang belum familiar dengan car seat, bisa dibaca di sini.

Saya sendiri dulunya kurang familiar dengan car seat karena orang dekat sekitar saya belum ada yang pakai (atau mungkin saya gak ngeh aja sih. Hehehe). Hanya pernah lihat dan dengar cerita dari kakak ipar yang pernah tinggal di US. Anyway, turned out car seat is one of my lifesavers!

Beruntunglah saya karena suami kami punya teman-teman yang baik budi dan dermawan yang menghadiahkan car seat beberapa minggu setelah Mikail lahir.

image

Gambar lebih jelas dari sebuah car seat seperti ini:

image
Source http://thoroughlyreviewed.com/wp-content/uploads/2015/02/Baby-Car-Seat2.jpg

Mikail pertama kali ke luar kota (Bandung) ketika usia 3 minggu, berbekal car seat ini. Awalnya saya agak ragu juga menempatkan bayi merah ke dalamnya, tapi sebenarnya kalau dipasang dan digunakan sesuai aturan, membawa bayi bepergian dengan mobil (atau pada dasarnya, kendaraan apapun) paling aman dengan car seat. Kebayang nggak kalau bayinya kita gendong seperti biasa dan tiba-tiba mobil mengerem mendadak atau ditabrak dari belakang, badan kita pasti terdorong ke depan dan bersama dengan itu juga bayinya.

Salah dua hal yang penting diperhatikan saat menggunakan car seat adalah:

1. Menghadap depan atau belakang?
Untuk bayi di bawah 6 bulan atau bobot tertentu biasanya car seat diharuskan menghadap belakang (rear view) agar ketika terjadi hal-hal seperti di atas, bobot bayi akan terdorong ke punggungnya yang relatif lebih kuat daripada bila is menghadap ke depan (front view) dimana bobotnya akan ditahan oleh bahu dan lehernya.

2. Kursi depan atau belakang?
Memang sangat tempting untuk menaruh car seat di kursi depan, persis di sebelah pengemudi (apalagi kalau pengemudinya kita), tapi kalau kursi depan samping pengemudi dilengkapi dengan airbag, maka tidak boleh dipasangi car seat karena ketika terjadi tabrakan malah bisa menggencet car seat-nya. Kursi penumpang samping pengemudi mobil saya sebenarnya tidak ada airbagnya, jadi pernah juga saya taruh car seat di situ, maksudnya biar Mikail lebih tenang kalau ada saya di sampingnya. Tapi karena anak saya gratak dan suka pencet sana sini, termasuk iseng coba buka-buka pintu mobil, maka akhirnya saya taruh lagi di bangku belakang, yang mama sebenarnya memang lebih aman juga.

So anyhow, I love car seat because it’s the safest way for my traveling baby. Alasan lain saya suka dengan car seat adalah karena dengan keberadaannya saya bisa jalan-jalan berdua naik mobil sama Mikail.
Berdua? Iya!
Berdua aja? Betul!
Gak ada pengasuh atau Mbak yang nemenin? Nggak! πŸ˜€

Lalu kalau bayinya nangis di tengah jalan gimana dong?

Nah, inilah salah satu tantangan yang saya rasakan sejak jadi ibu: selalu berencana matang sebelum bepergian. Kalau dulu sebelum ada Mikail saya bisa pergi kapan pun saya mau, semenjak punya ekor ini setiap mau pergi mesti dipikirkan dulu ini itunya.

Yang paling penting menurut pengalaman saya, si anak tidak boleh dalam keadaan lapar atau terlalu lelah. Niscaya akan rewel kalau salah satu dari dua hal itu tidak terpenuhi

Tapi tetap saja kadang juga kecolongan dan Mikail nangis meronta-ronta di tengah jalan. Biasanya kalau begini saya pasti menepi secepatnya, kecuali kalau tempat tujuan sudah dekat sekali, ya hajar saja! Memang sih, di ibukota Indonesia-Raya-Merdeka-Merdeka ini kadang susah menepi apalagi kalau sedang macet. Maju kena mundur kena (heaa, macam warkop). Kalau memang tidak mungkin menepi, yang penting tetap menyetir dengan tenang saja. Easier said than done indeed. Saya pernah terjebak macet ketika pulang dari Ratu Plaza dengan Mikail menangis di car seat belakang, rasanya stres dan kesal entah sama siapa. Tapi toh tidak membuat saya kapok jalan-jalan berdua sama Mikail juga sih. Hehehe.

Karena sekarang Mikail sudah cukup besar, sejak beberapa minggu lalu, saya pasangkan iPad di depan car seat nya agar dia bisa ada hiburan nonton video dan lagu anak. Cara ini sangat efektif lho membuat Mikail tenang dan betah di car seat nya. Mungkin karena kalau di rumah dia jarang sekali nonton TV ya, makanya kalo nonton di mobil jadi kegirangan. Wkwkwk.

image
Ini contoh iPad/Tablet holder untuk di headrest. Bukan gambar milik saya lho, yaa πŸ˜‰

Intinya, punya anak dan mengurus anak sendiri bukan berarti tidak bisa kemana-mana kok. Bisa, tapi memang lebih repot dan lebih banyak yang dipikirkan. Soal waktu tempuh juga harus diperhatikan. Selalu spare 30-60 menit lebih kalau-kalau anak rewel dan harus menepi dulu. Jadi kalau misal ada janjian jam 11 dan waktu tempuh normal adalah 30 menit, tambahkan waktu ekstra bila terjadi apa-apa dan harus menepi, sehingga artinya kita harus sudah mulai jalan jam 10 atau bahkan 9.30.

OK, then. Any comment, feedback, question? Anyone? πŸ™‚

Warmest,
Yasmin

P.S. bila ingin tahu lebih banyak soal car seat, silakan baca artikel ini.

Baby On the Go

Hello

Halo, nama saya Yasmin. Saya seorang muslimah di usia akhir 20-an yang saat ini menetap di Jakarta, Indonesia.

Saya lulus sebagai sarjana teknik sekian tahun silam dan sempat bekerja di beberapa tempat sebelum akhirnya saya melanjutkan studi master untuk bidang manajemen pemasaran. Selesai S2, saya enggan kembali lagi ke corporate life dan memutuskan untuk berwirausaha ceria. πŸ˜€

3 tahun lalu saya menikah dengan seorang laki-laki super smart yang anehnya punya banyak sifat yang bertentangan dengan sifat saya. Anehnya lagi, I believe that is the reason why he is my soulmate! πŸ˜‰

Setahun lalu, saya melahirkan seorang anak laki-laki gendut yang kami namai Mikail, sang malaikat pembawa rezeki. Mungkin akan banyak yang tidak setuju dengan apa yang akan saya katakan, tapi dari apa yang saya alami motherhood is one of the things that you cannot fully understand until you become a mother. Bisa dikatakan saat saya baru menjadi ibu tahun lalu, kesiapan saya mungkin hanya 50%. Saya bukan bicara soal kesiapan materi seperti pakaian atau peralatan bayi lho, yaa… Maksudnya kesiapan mental atas tanggung jawab maha besar dalam mengasuh anak.

image

I love my son to the moon and back and even more, tapi ada masanya dimana saya merasa bingung, overwhelmed, blingsatan dalam menjalani tanggung jawab sayang sebagai seorang ibu dan salah satu hal yang paling menolong ketika itu adalah forum ibu-ibu yang senasib. Mengetahui bahwa apa yang saya rasakan dan alami adalah hal yang natural dan bahwa semuanya ternyata baik-baik saja adalah sebuah kelegaan besar. Senang sekali rasanya mengetahui bahwa saya bukan satu-satunya orang yang mengalami kebingungan ini.

Blog ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman saya balancing motherhood, mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi orang lain. Sebenarnya saya juga sudah punya blog yang sudah saya tulis sejak tahun 2005, tapi karena spirit dan semangatnya berbeda, jadi dipisah.

Kenapa balancing motherhood? Karena saya ini agak banyak maunya. Saya mau mengurus anak sendiri, tapi juga mau mengurusi usaha saya, dan ingin jadi ibu rumah tangga yang teladan (eaaa, macam anak sekolah aja pake ‘teladan’).Β  Menyeimbangkan berbagai hal ini ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. So, by no means I have already achieved the balance. Instead, I’m still striving to reach it.

Sekali lagi, semoga blog ini akan bermanfaat buat kalian, buat saya, dan buat anak saya juga. Jangan pernah ragu untuk meninggalkan komen di sini, sesimpel atau seenggak penting apapun kalian pikir komen itu. Saya akan senang sekali mendengar respon apapun (kecuali spam, plis deh jauh-jauh!).

Warmest,
Yasmin

Hello